[Fiksi] Wanita Tua Sebatang Kara

Tangan tua penuh guratan keriput membuka pintu tandas yang terbuat dari susunan anyaman bambu berwarna cokelat.

Lawas dan lapuk akibat hujan, namun masih bisa menutup auratnya dari tatapan luar ketika menunaikan hajat.

Ia sudah tua, susah payah dengan tangan lemahnya menggerakkan dari atas ke bawah secara kontinu, sebuah pompa air yang sudah usang dari sumur besar penuh lumut.

Dahulu, suaminya lah yang bertugas mengisi air ke kumpulan ember hitam bergagang kuning yang ada di ubin.

Kini, tak bisa ia minta meski ingin. Sang pujaan hati sudah menyatu dengan tanah, kembali ke hadapan Sang Khalik.

Hendak menyuruh anak-anaknya, ribuan kilometer pula lah jauhnya.

Dering ponsel Siemens yang ia tunggu-tunggu, berhari-hari sudah tak terdengar karena tak ada yang menghubungi.

Tak ingat lagi kah mereka dengan sosok berumur ini?

Benarkah hanya sepanjang galah kasih sayang mereka?

Air dingin ia guyurkan ke wajah, lengan, sela rambut dan kakinya.

Dengan langkah pelan ia ayunkan kaki kembali menuju rumah beratap bambu, yang juga sudah sama-sama lapuk.

Mukena dari mas kawin saat menikah puluhan tahun lalu masih ada, namun warnanya sudah lusuh dengan beberapa tambalan di sisinya.

Ia rebahkan kepalanya ke sajadah tua usang berwarna merah tua.

Tetes air keluar dari sudut matanya, mengadu kepada Rabb-nya.

__________

Ditulis di Gamping, Yogyakarta. Ba’da dzuhur.

Tabik,

Leave a comment