*header photo by Traveloka.
Awal Februari 2020 kemarin, saya bersama suami pergi ke Banyuwangi dalam rangka recharge energy sebelum kami berdua memasuki rutinitas harian di kota yang baru. Sebenarnya, tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk berlibur ke Banyuwangi karena … memangnya di sana ada apa lagi selain Kawah Ijen? Wow, sungguh angkuh sekaligus kudet, hehe.
Sebelum memutuskan destinasi berlibur, seperti biasa kami berdua menentukan terlebih dahulu tipe liburan kali ini. Apakah untuk explore suatu wilayah full dengan segala macam itinerary? Atau tipe liburan yang mengikuti kehidupan masyarakat sehari-hari alias living like locals? Atau kah tipe liburan yang benar-benar berlibur alias bersantai-santai tanpa terpaku pada itinerary ini itu seharian?
Sesaat kami langsung sepakat memilih tipe liburan ketiga. Dikarenakan satu dan lain hal, destinasi hutan yang pertama kali kami pilih akhirnya diubah menjadi destinasi pantai sebagai sarana recharge energy versi kami. Lalu kota Banyuwangi lah yang akhirnya kami putuskan untuk dikunjungi setelah mempertimbangkan beberapa hal.
Ada tiga hotel pilihan saya di Banyuwangi yang mempunyai akses langsung ke laut lepas. Hotel Ketapang Indah, Dialoog Banyuwangi dan Villa So Long. Lokasi tiga-tiganya berdekatan sehingga dapat dikunjungi dalam jeda waktu yang singkat. Ketiganya mempunyai view yang sangat bagus. Awalnya saya bingung untuk menentukan hotel mana yang ingin kami tempati. Karena melihat salah satu tipe kamar di Ketapang Indah berupa kumpulan paviliun yang terpisah dari bangunan utama, maka Ketapang Indah lah yang akhirnya saya pilih.

Hotel Ketapang Indah ternyata sangat luas. Foto di atas hanya sebagian kecil dari hotelnya. Yang terlihat hanya bagian pool, playground dan restaurant.

Kami sampai di stasiun Banyuwangi Baru, Kalipuro, sekitar jam tujuh pagi menggunakan gerbong eksekutif milik Kereta Api Indonesia. Armada angkutan ternyata sangat minim di daerah Kalipuro. Hanya ada beberapa becak kayuh serta satu dua taksi pangkalan yang terlihat, itu pun sudah ada penumpangnya. Taksi online? Yah, jangan harap. Tidak ada yang mau pick-up setelah dua kali kami mencoba memesannya via aplikasi online. Peraturan pun sebenarnya melarang taksi online mengambil penumpang dari kawasan stasiun.
Salah seorang pengemudi becak kayuh menawarkan jasanya. Orangnya sudah sepuh dengan rambut yang dipenuhi uban. Enggan rasanya kami untuk mengiyakan. Tapi karena tidak melihat pilihan lain, apa boleh buat. Perjalanan menuju Hotel Ketapang Indah akhirnya ditempuh dengan becak kayuh.
“Maaf ya, Pak, berat”, sepotong kalimat yang keluar dari mulut saya selagi menaiki becak kayuh.
“Ora opo-opo, kuat. Uwis biasa”, jawab bapak becak kayuh dengan senyum ramahnya sembari membantu suami saya mengangkat koper dua puluh empat inchi.
Perjalanan dari stasiun Banyuwangi Baru menuju hotel hanya berjarak tiga kilometer. Menggunakan becak kayuh, waktu yang ditempuh sekitar lima belas sampai dua puluh menit perjalanan.
Hari Pertama
Setelah sampai di hotel, tentu saja kami belum bisa check-in karena peraturan check-in di hotel dimulai dari jam tiga sore. Kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di restoran hotel, Marlin Restaurant and Beach Club, yang letaknya di bangunan terpisah sekitar 100 meter menuju arah pantai dari lobby utama.
Untuk sarapan, pilihannya lumayan banyak dengan cita rasa Indonesia dan mancanegara. Menurut saya, rasanya sangat standar. Buahnya berwarna pucat dan kurang manis, bumbu beberapa makanannya pun kurang rempah.

Merasakan empat kali sarapan di Marlin Restaurant & Beach Club ditambah saya yang suka memperhatikan aktifitas orang-orang, sometimes saya merasa perlakuan para pramusaji sangat berbeda ke turis domestik dibandingkan dengan perlakuan mereka ke turis mancanegara. Saya pernah melihat seorang turis Jepang disapa sedemikian luar biasanya ketika sarapan. Ditanya apa kabar dan lain-lain. Saya dan turis domestik lain? Boro-boro :). Pernah juga di hari terakhir ketika check-out, ada dua orang turis asing yang check-out di depan mata kami dan ketika mereka mau keluar dari hotel, seorang receptionist dengan ramahnya berteriak “Good bye, Mister! See you again!” sambil melambaikan tangannya dan tersenyum dengan sangat manisnya. Giliran kami dan turis domestik lain, jangan harap diteriakin seperti itu.
“Mungkin tip yang mereka (para turis asing) kasih lebih besar kali”, kata suami ketika saya bertanya kenapa perlakuan mereka berbeda. Iya, mungkin. Bisa jadi :).
Setelah sarapan di hari pertama, kami menunggu beberapa jam di area pool sampai waktunya check-in tiba. Udara Banyuwangi ternyata panas, apalagi di daerah pantai. Sembari menunggu, kami memesan makanan dan minuman.

Akhirnya kami berhasil check-in sekitar jam 12 siang, tiga jam lebih cepat dari waktu check-in seharusnya. Seharian berada di hotel, tidur adalah pilihan yang kami pilih, menikmati panasnya Banyuwangi walaupun air conditioner di kamar sudah menunjukkan suhu 16 derajat. Bangun hanya untuk sholat dan makan siang, kemudian tidur lagi sampai sore. Hari pertama kami habiskan untuk tidur. Sungguh sebenar-benarnya liburan.


Sebelum check-in, saya sempat bertanya kepada petugas receptionist, mas Agung, yang sejak lahir berada di Banyuwangi, tentang destinasi yang wajib dikunjungi ketika berada di sana.
“Banyak mbak, ada Kawah Ijen, Africa van Java (Taman Nasional Baluran), tempat Raisa bikin video clip itu lho, mbak. Tapi sekarang lagi musim hujan, savana yang gersang-gersang itu nggak kelihatan”, kata mas Agung dengan penuh semangat.
“Ada Bangsring kalau suka snorkeling, mbak. Karang-karangnya itu lho. Waktu itu Menteri Susi pernah datang buat budidaya lobster.”, lanjutnya dengan senyum sumringah.
“Kalau mbaknya suka surfing, bisa ke Plengkung, mbak, hehe.”, seutas kalimat yang mengakhiri beberapa rekomendasi pilihannya di Banyuwangi.
“Alas Purwo gimana, Mas?”, balas saya dengan cepat.
Alas Purwo, yang saya tahu adalah salah satu hutan tertua di Pulau Jawa dengan segala macam misterinya. Alas Purwo, salah satu destinasi yang pertama kali saya temukan ketika mencari hashtag ExploreBanyuwangi pada laman pencarian Instagram. Saya awalnya tertarik ingin ke sana karena keindahan hutan dengan pohon-pohon yang besar dan tinggi. Sangat memanjakan mata, saya pikir.
Beberapa detik mas Agung terdiam. Nampaknya seperti sedang mengatur kalimat sebelum menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Takut salah menjawab, sepertinya.
“Alas Purwo itu, hutan mbak.”, jawabnya dengan hati-hati.
“Kan hutan tertua di Pulau Jawa ya mbak, kebanyakan orang-orang ke sana itu ya nyari wangsit, bersemedi gitu, apalagi malam satu Syuro, hehe.”, tambahnya.
Seutas kalimat dari mas Agung membuat saya berpikir sejenak. Sampai kamar, saya ambil telepon genggam dari tas yang saya kenakan, kemudian saya buka situs pencarian dan mulai mengetik “Alas Purwo”. Sepuluh menit googling sana-sini dan membaca cerita dari beberapa orang, wow, hasilnya cukup membuat saya berpikir ulang.
“Okay, cari tempat yang lain, deh.”, ucap saya dalam hati.
Hari Kedua dan Ketiga
Hari kedua dan ketiga dimulai dengan sarapan di area luar restaurant yang langsung menghadap ke pantai. Masih setengah sembilan pagi tapi mataharinya sangat terik sekali. Suhunya mirip matahari di siang hari.
“Nggak apa-apa, vitamin D.”, begitu jawab suami saya singkat saat saya protes tentang hal ini.

Setelah sarapan dan berjalan-jalan sebentar sambil mengabadikan beberapa foto, kami kembali ke kamar karena suami saya merasa lelah dan ingin beristirahat. Maklum, seminggu sebelumnya memang kurang tidur karena mengurus kepindahan dari ibu kota dan mempersiapkan beberapa hal di kota tujuan.
Spot foto di Ketapang Indah sangat banyak. Belum lagi hamparan luas rumput yang berwarna hijau. Hampir tidak ada sampah yang saya temukan. Tumbuhan-tumbuhannya pun sangat terawat.

Sorenya setelah merasa lebih baik, waktu kami gunakan untuk bersantai di area pantai dan kolam renang. Kebetulan pemandangan ke arah timur hotel adalah pulau Bali. Melihat daratan pulau Bali diiringi semburat layung sore, membuat saya mengucap asma Allah berkali-kali. Seketika saya merasa sangat-sangat kecil. Tidak ada apa-apanya dibandingkan ciptaan-Nya yang saat itu sedang saya pandangi :’).



Setelah menghabiskan beberapa menit di area pantai, kami berjalan menuju ke area kolam. Walaupun bukan di Bali, ternyata banyak juga wisatawan asing dari berbagai negara yang berlibur ke hotel ini.

Tak lupa memesan makanan dan minuman sambil bersantai dan menikmati sore hari. Harga makanan di hotel ini ternyata murah. Makanan dimulai dari harga dua puluh lima ribu rupiah dan minuman dimulai dari harga sepuluh ribu rupiah. Termasuk sangat murah untuk ukuran hotel yang nyaman seperti ini. Minumannya pun enak dan segar. Saya pesan orange juice frappe pada saat itu, salah satu minuman terenak yang pernah saya coba.


Di hari ketiga awalnya kami berencana akan pergi ke beberapa destinasi wisata lain di Banyuwangi seperti yang telah direkomendasikan oleh mas Agung. Namun setelah mempertimbangkan beberapa destinasi di Banyuwangi yang jaraknya ternyata dari ujung ke ujung, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk bersantai di area hotel saja.
“Nanti ngabisin waktu di jalan. Kan mau liburan santai”, pikir saya dan suami.
Hari Keempat
Setelah tiga hari berturut-turut bersantai di area hotel, akhirnya kami putuskan untuk keluar pada sore harinya. Dialoog Banyuwangi, tempat yang kami tuju. Jaraknya hanya tiga kilometer dari Ketapang Indah. Kalau di Ketapang Indah bagian tengah hotelnya terdiri dari banyak paviliun, maka di Dialoog Banyuwangi bagian tengah hotelnya hanya rumput hijau yang menghampar luas.

Di bawah adalah beberapa spot foto yang berhasil saya abadikan dengan kamera smartphone saya.



Gambar berikut adalah makanan dan minuman yang kami pesan sambil menikmati pemandangan pantai di area Dialoog Banyuwangi. Pizza dan chocolate souffle-nya enak, tapi jus jeruknya sangat asam. Tidak diberi sweetener sepertinya, padahal kami tidak minta dan waiter-nya pun tidak bertanya. Harga makanan di Dialoog Banyuwangi rupanya lebih mahal daripada di Ketapang Indah. Katanya sih, Dialoog Banyuwangi dikelola oleh Alila Group.


Karena habis hujan, suhu di Dialoog Banyuwangi sangat sejuk. Kami gunakan waktu untuk mengobrol dan mengabadikan beberapa foto. Cuaca yang masih mendung membuat hasil foto menjadi gelap. Menjelang maghrib, saya memesan taksi online lalu kembali ke Ketapang Indah.
Hari Kelima
Hari kelima merupakan hari terakhir di Banyuwangi. Di hari kelima ini lah kami menyempatkan diri untuk keluar setelah subuh dan melihat sunrise.





Menjelang siang, setelah sarapan dan membereskan baju-baju, kami check-out dari hotel lalu menempuh perjalanan kembali ke Kota Gudeg.
Selain sightseeing, bersantai-santai seperti ini adalah tipe liburan yang saya nikmati. Ngobrol, makan, tidur, repeat. Tidak menarik sama sekali bagi beberapa orang memang, hahaha.
“Sayang kali cuma di hotel aja.”, mungkin begitu ucap mama saya kalau beliau baca ini X’).
Yak, kalau teman-teman ada yang mau ke Banyuwangi dan ingin menginap di area lepas pantai, saya rekomendasikan dua hotel di atas. Dialoog Banyuwangi, vibes-nya lebih sepi ketimbang Ketapang Indah. Selama saya beberapa jam berada di Dialoog Banyuwangi, hanya suara ombak dan burung yang terdengar. Jarang sekali mendengar dan melihat orang lain berlalu-lalang. Kebetulan saya belum sempat ke Villa So Long yang letaknya bersebelahan dengan Dialoog Banyuwangi. Katanya mereka juga mempunyai akses langsung ke pantai.
Untuk rekomendasi tempat wisata, silakan pertimbangkan destinasi yang mas Agung katakan di atas. Maaf ya, mas Agung. Sudah banyak bercerita kepada kami tapi kami nggak jadi kemana-mana, hehe.
Banyuwangi, sampai ketemu lagi, ya.
Tabik, Mutia.