I used to be irritated easily.
Apalagi ditambah dengan bentuk bibir ke arah bawah dan default ekspresi yang datar, mungkin saya sering dianggap Mrs. Grumpy all the time, hiks.

Entah ada hubungannya dengan pain tolerance yang rendah atau tidak, dulu saya adalah orang yang gampang menunjukkan rasa ketidaknyamanan. Secara tidak sadar ketika berada dalam situasi tertentu, saya mudah mengeluarkan emosi negatif seperti cemas, gelisah, baperan, sensitif, overthinking dan sebagainya yang identik dengan rasa tidak menyenangkan.
Coba sini, pernah nggak bete waktu lalu lintas jalanan macet?
“Yaah kok macet ya? Yaah telat deeh aargh#$%”, misuh-misuh nggak jelas.
Atau pernah nggak, baper waktu ditanyain hal-hal yang ternyata sedang kita usahakan dan kita nantikan?
“Kamu kapan lulus? Kamu kapan nyusul pelaminan sama yang itu?”, tetangga oh tetangga.
Pernah overthinking tentang masa depan padahal masa depan masih, literally, di depan?
“Lima tahun lagi, hidup ku gimana ya? Udah punya keluarga sendiri belum? Udah punya rumah? Udah punya Porsche? Udah menyelamatkan dunia?”, kita si overthinker.
Pernah nggak ngerasa resah, gelisah, cemas waktu nunggu pengumuman kelulusan PTN, CPNS atau beasiswa?
“Huwaaa deg-degan terus dari tadi pagi, nggak konsen ngapa-ngapain ini”, wkwkwk begitulah pikiran kita, si gelisah, sampai emosi negatif menguasai diri ini.
Atau ini deh, pernah merasa kecewa dengan hasil yang didapat padahal sudah berusaha sampai titik darah penghabisan?
“Ah, dunia nggak adil! Kalau dunia adil harusnya sekarang aku udah jadi Presiden!”, kita si baper.
Kalau kamu sering berada dalam situasi di atas, yuk lah, gandengan tangan karena saya pun juga demikian. Hahaha.
***
Bukannya kita nggak boleh punya emosi negatif. Emosi negatif kan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri, jadi sah-sah aja doong. Tapi, emosi negatif yang tidak dikelola dengan baik, bisa mengganggu “kesehatan” diri sendiri dan hubungan dengan orang lain, lho. Males kaan berhadapan dengan orang yang dikit-dikit baper, dikit-dikit marah, belum apa-apa udah overthinking?
Mari ambil contoh, lalu lintas jalanan yang macet tadi entah karena pohon yang tumbang atau jembatan yang roboh.
Dulu mungkin saya akan misuh-misuh apalagi kalau sedang buru-buru datang ke suatu tempat. Eits, tapi sikap saya sekarang sudah berbeda. Pikiran alam bawah sadar langsung berdialog sendiri kira-kira seperti ini,
“ya kalau macet terus kenapa? Telat? Ya udah, udah takdirnya dan mau nggak mau harus dijalani. Kan pohon tumbang atau jembatan roboh sudah berada di luar kendali kita. Menggerutu nggak akan bikin lalu lintas lancar saat ini juga, lho!”
Alhasil saya jauh jadi lebih santai dan kalem, karena harus diakui menunggu dalam keadaan menggerutu memang tidak akan membuat lalu lintas menjadi lancar kembali.
Sekarang, seringnya saya termasuk dalam kaum “yaudahlah, bund” walaupun untuk beberapa keadaan tentu tidak bisa menerapkan prinsip ini.
Saya masih ingat pertengahan 2020 lalu saat sedang ngobrol dengan suami. Biasanya pada momen tertentu, kami membicarakan hal-hal tentang satu sama lain seperti apa yang perlu di-improve sebagai seorang manusia dan pasangan, sifat apa yang perlu dikurangi atau dihilangkan, apa yang pasangan tidak suka, apa yang pasangan suka, apa ada hal-hal yang bikin sakit hati namun belum sempat disampaikan, dan lain sebagainya. Waktu itu di sore hari, pertanyaan mengenai hal-hal tersebut saya lontarkan kembali.
“Beda, kalau sekarang tuh jauh lebih kalem. Lebih zen”, balas suami singkat sembari melemparkan senyum mautnya, ciyee.
Waaaa syukur deh, cukup default ekspresi muka saya saja yang terlihat grumpy. Sifatnya jangan doong, hehe.
Beberapa tahun terakhir ini saya memang menerapkan satu prinsip ajaran dari zaman Yunani kuno ke dalam segala aspek kehidupan. Lumayan bikin jiwa lebih “sehat”, bund.
Jadi, apakah yang saya pelajari dan bagaimana asal muasal perubahan ini terjadi?
Begini ceritanya.
***
Di penghujung 2018, saya menemukan utas singkat di Twitter yang ditulis oleh Henry Manampiring, @newsplatter. Saat itu beliau sedang berbicara mengenai buku barunya, Filosofi Teras yang berisi mengenai Stoicism. Beliau menjelaskan, stoicism atau stoisisme adalah ajaran mengenai nilai-nilai universal tentang cara kita memandang dan menjalani hidup.
Yang akan saya bahas di sini adalah salah satu prinsip inti dari stoisisme, yaitu dikotomi kendali atau sering disebut juga dikotomi kontrol.
Dikotomi Kendali
Dikotomi kendali adalah satu sikap yang memahami bahwa ada hal-hal yang berada di dalam kendali dan berada di luar kendali kita. Contoh hal-hal yang berada di dalam kendali kita seperti; persepsi atau opini kita atas orang lain, respon kita akan sesuatu, makanan yang kita konsumsi, tindakan yang akan kita lakukan, dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, contoh hal-hal yang berada di luar kendali kita seperti; persepsi atau opini orang lain untuk kita, respon netizen di sosial media, warna kulit serta keadaan kita saat dilahirkan, cuaca serta keadaan alam, masa depan, dan masih banyak lagi juga.
Bagi stoisisme, semua peristiwa itu netral. Persepsi kita lah yang mengubahnya menjadi baik ataupun buruk.
“Untuk (seseorang bisa) benar-benar menyakitimu, tidak cukup dengan hanya memukul atau menghinamu. Kamu harus percaya bahwa kamu sedang disakiti. Jika seseorang sukses memprovokasimu (membuatmu kesal), sadarilah bahwa pikiranmu sendiri sudah membantunya.”
Epictetus

Menerapkan prinsip ini bukan berarti pasrah pada setiap keadaan. Islam juga mengajarkan hal ini ternyata. Menerapkan dikotomi kendali, artinya kita cukup berusaha semaksimal mungkin dengan apa yang bisa kita kendalikan, lalu mengembalikan semua urusan hanya kepada Allah semata. Sebagai seorang muslim, wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada mahluk-Nya. Bukankah, ini makna dari iman kepada qadha‘ dan qadar?
Ketika mempelajari dikotomi kendali, saya menemukan istilah Amor Fati atau mencintai takdir. Stoisisme mengajarkan bahwa manusia harus belajar ikhlas dan menerima takdir bahkan mencintainya. Pertanyaan yang ada di benak saya pada saat itu, kalau kejadian buruk menimpa saya, bisa nggak ya saya cinta sama takdir tersebut?
Di masa lalu ada begitu banyak takdir yang tidak sesuai dengan keinginan serta harapan saya. Namun beberapa waktu kemudian, satu-persatu, semua takdir yang menurut saya buruk ternyata adalah takdir yang baik kalau saja saya mau melihat dari sisi lainnya.
Maka ketika “kejadian buruk” menimpa saya lagi, “senjata” andalan saya adalah bertanya kepada diri saya sendiri. “Yakin takdir ini buruk? Darimana saya tau kalau takdir ini buruk? Jangan-jangan ini cuma persepsi saya aja?”.
Ada satu pesan stoisisme yang saya suka namun mungkin terkesan “hih, kok ngomongin itu sih? Pamali!”, yaitu tentang mengingat kematian.

Dalam Islam, Rasulullah SAW pun pernah bersabda:
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).”
HR. Tirmidzi
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari buku Filosofi Teras. Kalau kamu tertarik membaca lebih dalam mengenai stoisisme dan dikotomi kendali lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, silakan cari buku ini di Gramedia terdekat atau toko buku online favorit kamu, ya.
TL;DR/Too Long Didn’t Read
Sejak memahami dikotomi kendali, saya diajarkan untuk tidak memusingkan hal-hal yang berada di luar kendali saya. Manajemen emosi negatif saya semakin baik karena menyadari semua emosi negatif adalah bagian tanggung jawab saya dan sepenuhnya berada di bawah kendali saya.
Tidak perlu juga overthinking terhadap masa depan karena toh hanya buang-buang energi. Fokus saja melakukan yang terbaik, karena masa depan terbentuk dari langkah kecil yang kita lakukan saat ini. Always do the good deeds and good fate will come back to you.
Menerapkan stoisisme dalam kehidupan sehari-hari memang nggak mudah, tapi mari melatih diri sendiri untuk tidak menggantungkan kebahagian pada hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Tabik,

Referensi: